Oleh
: Jumardi
Selalu ada
cerita. Di setiap perjalanan hidup menyusuri masa-masa itu, melewati
tembok-tembok pembatas, MI, MTs, MA. Kadang mengenang saat belajar dulu,
terharu hati, kerinduan yang mendalam kepada sekolah, guru, ustadz, lapangan
voli, lapangan sepak bola, lapangan takraw, meja tenis meja, taman sekolah,
labor biologi, labor fisika, labor kimia, labor bahasa, labor computer, dan
labor diskusiku bersama teman-teman OSIS dulu. Teman sekelasku, segurauan,
sebarisan, adik-adik yang sempat aku angkat menjadi adikku, kakak-kakak yang aku
anggap kakakku sendiri, yang pinjamin aku uang jajan saat krisis. Banyak sekali
kenanganku semasa itu. Sampai sekarang kerinduanku masih menggema.
Aku masih
ingat saat aku diminta untuk memilih sekolah Atas oleh Abah. Apakah aku memilih
sekolah di kampung atau pergi ke luar kampung.
Saat itu aku bilang pada abah kalau aku ingin bersekolah di luar kampung.
Itulah awal kenangan itu. Kenangan yang selalu aku kenang jika teringat abah.
Memang selalu ada cerita. Di setiap akan memulai langkah kehidupan. Dari awal
aku akan bersekolah di MAN 039 Tembilahan. Awal permintaan Abah.
Setelah Abah menyetujui
apa yang aku inginkan, yaitu bersekolah di MAN 039 Tembilahan. Aku mulai
mempersiapkan segala persiapan administrasi yang diperlukan. Aku tidak tahu,
entah kapan dimulai dan berakhir pendaftaran dan segala persyaratannnya. Yang
aku tahu hanya berangkat dan membawa semua hasil dari aku bersekolah di kampung
itu. Ijazah-ijazah aku bawa semuanya, photo-photo aku siapkan
sebanyak-banyaknya. Sebelumnya aku belum pernah sama sekali pergi keluar
kampungku, apalagi ke Tembilahan, pusat kota kabupaten Indragiri Hilir itu.
Keinginanku
untuk bersekolah di MAN 039 Tembilahan ternyata diketahui oleh kepala
sekolahku. Aku tidak tahu darimana beliau tahu. Mungkin dari teman-temanku,
karena aku pernah bilang kalau aku akan bersekolah ke Tembilahan. Pak Marzuki,
kepala sekolahku itu lalu memanggilku. Beliau tidak menyetujui kalau aku
bersekolah di Tembilahan. Memang beliau sayang denganku karena akulah yang
banyak berkontribusi membawa nama baik sekolahku, beliau menginginkan agar aku
tetap bersekolah di kampung saja karena masih ada Aliyahnya. Tapi aku tetap
berkeinginan bersekolah di Tembilahan. Aku jelaskan kepada beliau keinginanku itu.
Beliau memahaminya. Berat juga beliau melepasku, tapi kebanggan beliau kapadaku
tetap nampak diwajahnya yang mulai menyusut itu. beliau berjanji akan mengurusi pendaftaranku.
Aku tidak pernah memintanya tapi beliau yang menawarkannya.
Abah sangat
mendukung keinginanku untuk bersekolah ke Tembilahan walaupun sebenarnya ada
beban di pundak abah untuk mencari dana awal untuk aku berangkat nanti. Abah
hanya ada usaha kebun kelapa yang setiap bulan harus menebas semak-semak di
sekeliling pohon kelapa. Abah hanya sanggup menebas, untuk mengait kelapa dan
pekerjaan lainnya abah sudah tidak sanggup lagi. Abah sering sakit pinggang dan
sakit leher. Hampir setiap malam abah minta urut sama emak, terkadang aku yang
mengurut abah.
Abah sempat
resah karena biaya untuk aku berangkat belum juga abah dapatkan. Kelapa-kelapa
belum lagi kering, harus menunggu dua bulan lagi karena sebulan yang lalu sudah
dijual. Kelapa masih banyak yang hijau, muda, tidak boleh dipetik takut kelapa
rusak nantinya. Abah tidak mau tahu, abah paksakan juga mengait kelapa yang
belum kering itu. Abah suruh abang untuk mengaitnya. Tidak banyak, hanya
terkumpul lima
ratus buah. Belum cukup untuk biayaku berangkat. Aku membantu abah mencari uang,
aku yang mengangkut kelapa untuk dijual.
Aku pasrah.
Uang hasil dari penjualan memang tidak cukup. Abah berulang kali mengingatkan
untuk bersabar. Aku terharu, aku takut keinginanku dan keinginan abah untuk
meyekolahkanku lebih tinggi gagal. Karena akulah anak Abah dari dua belas
saudara kandungku yang bisa dan mau bersekolah. Abang-abangku tidak sempat MTs,
tamat SD langsung pergi membalak kayu di hutan, bahkan ada abangku SD pun tak
tamat. Kakakku tamat SMP langsung kawin. Jadi akulah anak abah yang mau
melanjutkan sekolah. sampai MAN.
Sebulan sudah
abah menguras pikiran dan tenaganya mencari uang. Aku kasihan dengan abah.
Sementara tiga hari lagi aku harus berangkat ke Tembilahan untuk mendaftar.
Kepala sekolah memberi tahuku kalau dia berangkat hari Jumat nanti.
Menjelang hari
Jumat yang tinggal tiga hari lagi aku hanya diam, menunggu keputusan abah
apakah jadi atau tidak aku berangkat.
Menjelang besok, hari keberangkatanku abah belum juga memberi keputusan.
Aku pasrah, terserah pada abah dan aku pun tidak memaksakan abah untuk aku
bersekolah di luar kampung. Kayaknya abah sudah tahu tentang kepasrahanku ini.
Lagi-lagi abah menasehatiku agar bersabar.
Selalu ada
cerita. Menghadapi dinamika hidup dengan sabar dan berserah diri kepada Tuhan
merupakan kenikmatan tersendiri pada abah yang kemudian diturunkan kepadaku.
Sekali lagi aku pasrah apapun yang terjadi.
Abah bukanlah
orang tua yang mudah menyerah, abah tidak berhenti berusaha mencarikan aku dana
untuk biaya pendaftartaran sekolah di Tembilahan. Tanpa aku ketahui tiba-tiba Abah
memberi tahuku kalau hari ini (kamis) Abah mengajakku langsung untuk berangkat
ke Tembilahan. Tanpa aku tahu. Abah mengajak keluarga; Emak, Abang, Kakak, dan Adikku
berangkat pakai pompong yang Abah punya. Memang selalu ada cerita. Setiap kita
bersyukur terhadap apa yang Tuhan berikan kepada kita. Perjalanan pertama
keluar pakai pompong Abah, yang biasanya digunakan untuk pergi ke kebun. Aku
bersyukur bisa berangkat, walau kami harus menempuh perjalanan laut selama
delapan jam, syukurku bertambah karena kami mulai berangkat jam empat shubuh.
Aku bangga
pada Abah. Abah selalu punya solusi setiap ada masalah. Tapi Abah tidak pernah
beritahu jika ada masalah. Abah selalu menunjukkan solusi bukan masalah.
Selau ada
cerita. Setiap memandang awan-awan siang mata tersipit tak sanggup menahan
sinar. Kami terpaksa menahan rasa panas terik matahari. Emak pakai payung,
abang pakai topi, kakak juga pakai payung, tapi Abah tidak pakai apa-apa, abah
tahan panas karena sudah terbiasa. Aku bangga pada abah yang kuat.
Kami sampai ke
Kota Tembilahan. Kota pertama yang aku saksikan,
kota pertama
yang nantinya aku bertinggal selama belajar. Tidak untuk abang dan kakak, emak
dan adikku. Mereka sudah sering ke Kota
ini. Hanya aku dan Abah yang merasa asing di pemandangan ini. Aku dan Abah ingin mencoba Becak. Kami pergi ke rumah
nenek naik becak. Ya ke rumah nenek yang baru aku tahu aku punya nenek yang
tinggal di Kota
yang Asing ini bagiku dan Abah.
Selalu ada
cerita. Menghadapi hari-hari dalam keterasingan di kota yang pertama aku lihat,
keramaian kendaraan dan pengendaranya. Aku bangga pada Abah, karena aku diberi
kebebasan untuk melihat mobil-mobil yang baru kulihat di nyatanya. Memang
begitulah ceritanya. Abah selalu aku banggakan di sepanjang hidupku ini.
Kami menuggu
kepala sekolah datang menemui kami di rumah nenek. Hari ini aku didaftarkan pak
Marzuki di MAN 039 Tembilahan. Abah ikut bersamaku dan pak Marzuki. Abah yang
pegang uang, biaya pendaftaranku. Kami naik becak, abah yang bayar semuanya.
Selalu ada
cerita. Saat-saat menuggu pendaftaran Abah
minta izin pulang, kembali ke rumah nenek. Emak tiba-tiba sakit. Abah
titipkan uang kepada Ibu yang jaga pendaftaran siswa baru. Abah sangat peka, Abah
langsung percaya dengan orang, walaupun abah belum mengenalnya dan benar Ibu
itu adalah orang yang jujur. Aku di daftarkan oleh pak Marzuki, kepala
sekolahku. Pendaftaran selesai tapi Abah tidak ada, Abah sudah pulang menemani Emak
yang sakit. Aku bangga pada Abah. Abah sangat mencintai Emak, Abahlah yang
merawat emak.
Selalu ada
cerita. Hambatan hidup selalu menghasilkan cerita. Emak sakit selama seminggu
di Kota ini.
Emak perlu perawatan, Abah butuh biaya tambahan untuk merawat emak. Uang abah
sudah di bayar untuk pendaftaranku. Aku bangga pada abah, abah selalu ada
solusi. Tidak pernah memberitahu masalah.
Memang begitu ceritanya. Aku bersalah pada Abah. Sudah banyak hutang
Abah pada tauke. kelapa kampungku.
0 komentar:
Posting Komentar