Oleh : Jumardi
Aku bejalan di
tepi-tepi parit. Aku tinggal di Parit Empat. Nenek tinggal di Parit duabelas. Dan saudara-saudaraku tinggal di parit duapuluhlima.
Jika kau pergi ke kampungku, hati-hatilah naik mobil atau naik motor, kau harus
hati-hati, janganlah ngebut-ngebut karena belum lagi gas kendaraanmu kau tarik
habis atau kau injak habis, kau sudah menaiki jembatan. Bisa jadi, jika kau
me-gas habis kendaraan kau bisa terkejut atau bisa juga kepala kau akan
terbentur ke dinding mobil atau kau akan terpleset bersamaan dengan jatuhnya
motor kau.
Aku
berjalan di pinggir parit, menyusuri tepi-tepinya yang dengan seringnya akan
jalani terbentuklah jalan kecil, karena rumput-rmput yang mati ku injak setiap
hari. Sepertinya ia enggan untuk hidup atau takut aku akan menginjaknya lagi
esoknya. Aku tak tau kawan, itulah jalanku satu-satunya agar aku bisa sampai ke
sekolahku yang hampir saja menghabiskan satu jam setengah untuk sampai ke sana.
Di Kota semua jalan di aspal, walaupun bersimbah lubang, tapi mendinganlah dari
pada tempat aku tinggal ini, nasib baik kalau hujan tak turun. Kalau hujan lagi
datang musimnya, habislah aku, terpaksa aku harus membawa pakaian ganti, licaknnye
minta ampun, macam berjalan di tengah lumpur. Entahlah kawan, seumur aku
hidup di kampong aku ini, sampai sekarang aku berumur 22 tahun tak juga jalan
yang aku dan kawan-kawan yang merintisnya ini disemen atau sekedar ditembok,
atau dikasih sabot kelapa pun tidak.
Setahu
aku sudah tiga kali pak Bupati datang ke kampong aku ini, pertama waktu dia
baru-baru jadi bupati, kedua pas masjid kampong kami ngadakan isra’ mi’raj,
kemudian yang ketiga pas dia mencalonkan diri untuk jadi bupati yang kedua
kalinya. Sudah tu tak pernah aku nampak batang hidung de lagi, padahal
beliau tu dah terpilih pulak jadi bupati. Entahlah kawan, aku bukanlah ndak marah
dengan pak bupati, aku hanya mau mempertanyakan kinerja pak kepala desa aku
ini, aku masih ingat waktu aku masih ibtidaiyah 14 tahun yang lalu, jalan di
parit aku tinggal menuju ke pusat desa tak juge kunjung di tembok, padahal
perjalanannya jauh, satu jam setengah. Kalau aku saja yang menempuh jalan itu
tak apa, tapi kan kasian dengan orang-orang tua di situ, banyak yang sudah
berumur setengah abad harus berjalan di tengah-tengah semak hanya untuk membeli
setengah kilo ikan asin. Setiap hari Rabu yang merupakan hari pasarnya kampong
aku itu, nenek-nenek tua itu harus menempuh jalan dan perjalanan sejauh itu.
Setidaknya jalan tu di tembok, sebaiknya di kasih pasir, biar orang-orang dapat
makai kendaraan, atau menumpang orang yang makai kendaraan.
Entahlah
kawan, aku juge tak mungkin mau marah terus dengan pak kepala desa kami tu, aku
hanya heran tak ade yang mau menggantikan kades tu, tak ade yang sanggup mau
jadi kades, padahal pak kades sekarang entah berapa periode sudah die memimpin
desa kami ini. Dari aku kecil sampai sekarang aku berumur 22 tahun masih juga
die yang mimpin. Aku pun dah bosan kawan, bosan dah aku berikan pendapat untuk
merubah kampong aku tu, berikan nasehat kepada kepala desa kami tu agar
banyak-banyak belajar ilmu agar pandai mengelola kampong agar lebih baik. Tapi
itulah kawan, aku dah baik-baik berniat mau memajukan kampong kami tu, mereka
malah tak merespon aku sedikitpun. makanya aku jarang pulang ke kampong aku tu.
Aku lebih senang tinggal di kampong kau ini, semuenya lancer-lancar, semuanya
baik-baik. Itulah kawan yang menyebabkan
aku malas pulang kampong, walaupun aku pulang, itu karena Abah dan Mak aku
masih tinggal di sane.
***
“Sekarang
kan kau sudah besar, sudah banyak ilmu, sering ikut organisasi. Apalagi
sekarang kau sudah harum di kalangan masyarakat Riau”
“Manelah
mereka tahu tentang aku kawan, untuk nonton tv aje mereka harus menunggu
maghrib, karena PLN baru dihidupkan kalau hari sudah gelap, apalagi aku sudah
lame tak pulang kampong, pastilah mereka dah lupa dengan aku”
“Maka
itu kau harus balik ke kampong kau, kau buktikan kalau kau memang berniat baik
untuk memajukan desa kau, jangan hanya sekedar beri masukan aje, langsung kau
kerjakan, buktikan dengan bukti nyata kawan”
“entahlah kawan, aku tak yakin ape
yang kau bilang tadi akan terjadi”
“kenapa tak mungkin?”
“Itulah sulitnye orang kampong aku
tu kawan, orang-orang de rata-rata keras kepala, bersikap acuh tak acuh,
kecuali kalau kite kasih duet barulah mereka mau ngikut kite, sementara aku tak
mungkin melakukan money politik kawan, apalagi hanya sekedar minta dipilih
saje,”
“kesuksesan itu butuh pengorbanan
kawan, untuk merubah masyarakat itu butuh waktu, tak mungkin mereka bise
menerima kau dalam sekejab”
“kau tak perlu pakai bagi-bagi duit
untuk menarik perhatian mereka, cukup kau berada di kampong kau tu, berbuatlah
untuk kampong kau, buktikan secara perlahan, jangan kau langsung mencalonkan
diri jadi kepala desa, hiduplah dan berbaurlah dulu dengan masayarakat kampong
beberapa tahun lamanya. Nah, setelah kau lihat, nampaknya masyarakat mulai
mengerti niat baik kau, barulah kau mulai
naik sedikit berbaur dengan pejabat-pejabat kampong kau itu. Lagi pula
untuk memajukan kampong kau tu, kan tak perlu kau jadi kepala desa?”
“entahlah kawan, mungkin betul juga
apa yang kau katakan. Kayaknya aku memang harus pulang kampong, berbaur dengan
masyarakat dan membuktikan bahwa aku memang berniat baik mau memajukan kampong aku
tu. Memang tak perlu aku jadi Kepala Desa dulu baru aku berbuat, biarlah aku
berbuat untuk kampong tanpa jadi Kepala Desa.”
“Kau ingatkan apa yang di ceritakan
ustadz saat kita ikut pengajian kemaren, ada sahabat nabi Muhammad yang dia diakui
bahkan akan masuk surga berdampingan dengan nabi Muhammad? Ternyata dia adalah
sahabat Nabi yang tidak dikenal oleh para sahabat lainnya, tetapi dia selalu
ikut berjuang bersama Nabi, berperang melawan orang-orang kafir,sampai dia mati
Syahid di Jalan Allah.”
****
Aku merasakan suasana yang beda.
Sungguh sangat berbeda perjalanan pulang kali ini. Keyakinan akan harapan akan
kampong halaman yang makmur dan maju. Seperti sepuluh tahun yang lalu aku biasa
pulang naik travel, menempuh perjalanan
selama delapan jam dari Pekanbaru. Walaupun masih banyak aku lihat
suasana yang masih sama dengan dulu, jalan yang berlubang. Sekali-kali aku
melirik ke kiri kananku masih ada jalan yang masih belum disemen, walaupun
sudah di tembok. Tapi melihat itu
sungguh rasa marah itu masih saja tak mau hilang dari aku. Namun juga itu
menjadikan aku tidak sabar lagi untuk mengabdi di kampong halamanku. Aku ingin
merubah semuanya. Aku tak ingin ada nenek-nenek yang masih berjalan kaki
berjam-jam melewati lumpur yang dikelilingi semak. Aku tak ingin ada lagi pemimpin
negeri ini yang masih tidak pandai mengurusi rakyatnya karena kebodohannya dan ketidakmauannya belajar.
Jumardi
Bergiat
Komunitas ALINEA I FLP Pekanbaru
1 komentar:
How to make money from betting on football - Work Tomake Money
If you're ford escape titanium having problems finding a winning bet online gri-go.com for the day of your choosing, https://febcasino.com/review/merit-casino/ then there are plenty of opportunities 나비효과 available right หาเงินออนไลน์ here.
Posting Komentar