Pages

My Slide

Cover Photos Slideshow: Ju’s trip from Medan, Sumatra, Indonesia to Pekanbaru was created by TripAdvisor. See another Pekanbaru slideshow. Take your travel photos and make a slideshow for free.

Senin, 13 Februari 2012

BELAJAR KEPADA RABIH

Oleh: Jumardi

“Mengapa Rabih rela meninggalkan Hindun, istrinya, merasakan dingin, lapar, dan lelah, hanya karena memenuhi panggilan Rasululllah saw untuk ikut mempertahankan Madinah? Padahal Rabih baru empat hari menjadi pengantin. Baru saja melepaskan baju besinya setelah perang Badar dan Uhud. Rabih lagi mesranya bercumbu rayu bersama istrinya.”
***
Sengatan motivasi sekaligus inspirasi dari kisah yang menyejarah perang Ahzab atau Khandaq itu membangkitkan ghirah perjuangan dakwah. Kisah itu telah menyadarkan Ahmad dari khayalan dan lamunan palsunya, kefuturan jalan yang dilaluinya. Ia terkejut sekaligus terperanjat. Ruhiyahnya menanjak melewati derajat Sembilan puluh derajat Celsius. Emosi sekaligus benci atas kefuturannya sendiri.

Bagaimana tidak, shalat berjamaah di Masjid yang selalu ia lakoni dan tak pernah sama sekali ia tinggalkan, pernah terjerembab dua kali masbuk, yang kemudian berlangsung menjadi terlambat mendapatkan salam imam. Ia malu pada dirinya, malu pada Tuhannya, “kabura maqtan `indallahi antakulu maa laa taf`aluun” yang akhirnya ia enggan mengisi Liqo` walaupun masih mau menghadirinya.

Di sekeliling ikhwah ia meneteskan air mata, mengaliri pipinya yang sudah merah, kecut, dan suasana hening malam itu memperjelas isaknya.

Ikhwah yang berada di dekatnya tertegun, ikut merasakan penyesalan bahkan lebih dari penyesalan yang dirasakan Ahmad.

Astaghfirullahal `azhiim, aku memohon ampunanMu ya Rabb. Seorang Ahmad dengan begitu penuh penyesalanya hanya karena  terlambat mendapatkan salam imam. Sementara aku, hambaMu yang mungkin tak terhitung lagi berapa kali masbuk, jarang tilawah, bahkan banyak bicara yang tidak berguna di masjidMu, tidak merasakan getaran itu. Ya Allah, sungguh seharusnya aku lebih layak untuk menyesalinya daripada Ahmad. Ya, Allah ampuni hambaMu ini yang tidak peka dengan hikmahMu.”

Lirih-lirih suara hati ikhwah-ikhwah di sekeliling Ahmad, menambah haru suasana malam itu, malam yang penuh dengan penyesalan dan kesadaran. Malam yang sunyi di sudut masjid di pojok gang, Malam bina Iman dan takwa di sepertiga malam. Muhasabah diri oleh murobbi mereka.
***
Itulah Rabih, ia memiliki himmah (kerisauan) yang tinggi terhadap kaum muslimin. “Aku takut, seandainya aku tidak ikut serta berjuang bersama Rasulullah, tidak ikut merasakan lapar, haus, dingin, sebagaimana yang dirasakan saudara-saudaraku, lalu kami menjadi lemah. Maka para kafir Quraisy, bani Ghathfan, Bani Qainuzha dengan pengkhiatanannya, akan bersemangat menghancurkan kaum muslimin. Apa yang akan terjadi dengan Rasulullah, Umar, Abu Bakar,  Ali, Utsman, dan umat Islam yang akan datang? Dakwah ini akan mati, orang-orang kafir itu akan senantiasa melecehkan muslimah dan membantai anak-anaknya”. Itulah jawaban seorang Rabih kepada istrinya ketika berat melepaskannya pergi.

Hasan Al-Banna pernah berpesan, “Ketika para kader dakwah dengan seenaknya meninggalkan shalat sunat, maka tidak perlu kita herankan orang amah seenak-enaknya meninggalkan shalat wajib.” Karena tidak ada lagi teladan yang baik yang mereka lihat dari para kader dakwah yang katanya membangun masyarakat yang Islami itu. Lalu apa yang harus kita berikan? Mungkinkah suara kita yang merdu saja? Sudahkan hari ini kita berbuat untuk ruhiyah kita, memperbaiki ibadah-ibadah kita?
***
Enam orang di sudut masjid itu tak bisa diam, punggung-punggung mereka naik-turun, tangan mereka bergantian kiri dan kanan mengusap air matanya sendiri yang tak kunjung berhenti bermuara membanjiri pelupuk mata mereka. Baju kemeja yang mereka kenakan pun ikut basah terkena tetesan-tetesannya. Tidak ada yang bisa membantu mengusapkan air mata saudaranya, karena masing-masing mereka mengusapi air matanya sendiri.

Malam itu malam yang penuh haru, malam air mata, agar esok tidak ada lagi air mata yang mengalir dari air mata muslimah, atau anak-anak yang terzalimi, atau air mata penyesalan karena terlambat memperoleh rahmat karena terlambat memperoleh amal utama.
***
            Para mahasiswa yang hadir terharu bahkan mengeluarkan air mata kesedihan. Air mata yang bermuara pada penglihatan mengenaskan. Dimana bayang-bayang muslimah dan anak-anak Palestina yang terzalimi, para pejuang pembebasan Palestina dan Agamanya yang syahid ditembaki tank-tank Israel. Gedung dan rumah-rumah yang rata dengan tanah karena bom-bom bangsa kera itu meluluhlantakkannya. Hanya batu yang bisa mereka lontarkan ke wajah bengis tentara Israel di samping tank-tank yang setelah itu menembakinya.
***
            “Lihatlah saudaraku. Bagaimana mungkin dengan ruhiyah yang secuil bisa menghadapinya. Bagaimana mungkin dengan alasan hujan, lalu tidak mau berjama`ah di masjid. Bagaimana mungkin Islam akan jaya dengan bersantai-santai. Kita telah membaca sejarah Khandaq, dimana ribuan kafir mengepung kaum muslimin Madinah yang sudah lemah ototnya, rasa dingin, lapar, haus, hampir putus asa, yang bisa saja dakwah Islam akan tenggelam ketika itu, jika saja kaum muslimin tidak mencintai syahid, mencemaskan masa depan Islam. Mungkin hari ini, walaupun Islam masih ada, kita akan hidup seperti budak di sel-sel penjara orang-orang kafir. Tetapi kesabaran, keikhlasan, ruhiyah yang terjaga, iman yang kokoh, telah menghilangkan bayang-bayang buruk itu. Dan Islam Berjaya, kaum kafir kabur ke rumah mereka masing-masing, dan kita ada di sini.”

            Allahu akbar!
            Allahu akbar!!!

            Teriakan takbir yang penuh dengan keikhlasan keterharuan, kebencian pada kelalaian, membahana di masjid itu. Di mana di dalamya Ust. Ahmad berdiri, mengingatkan para mahasiswa akan pentingnya perjuangan dan menjaga ruhiyah. Dia tidak ingin penyesalan yang pernah ia rasakan terulang pada generasinya walau hanya terlambat dalam perjuangan dan terlambat mendapatkan salam imam.***

0 komentar:

Posting Komentar