Pages

My Slide

Cover Photos Slideshow: Ju’s trip from Medan, Sumatra, Indonesia to Pekanbaru was created by TripAdvisor. See another Pekanbaru slideshow. Take your travel photos and make a slideshow for free.

Rabu, 02 Januari 2013

Desa Belantaraya; Kampung Inspirasiku

Aku lahir di sebuah desa bernama Belantaraya, Kecamatan Gaung, kabupaten Indragiri hilir, Riau. Setelah aku berumur 10 tahun sering aku dengar orang menyebut kampungku itu dengan “Belantak”. Belantaraya. 
Nama ini mungkin dinisbatkan karena dulu hutan yang begitu lebat di sekeliling desa, sebelum dibabat habis oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Kita hanya membutuhkan waktu 10-15 menit saja untuk sampai ke hutan Belantaraya dari pusat desa. Sedangkan “Belantak” adalah sebutan yang selalu dilontarkan oleh orang melayu desa atau orang kampung sebelah yang konon dulunya di perairan desa ini sering kali terjadi tabrakan speed boat dan kapal pemuat kayu balak. 
Kampung kelahiranku ini tidak begitu luas, kalau kita ke hilir hanya 15 menit pakai pompong akan mentok dengan desa Pintasan. Kalau ke Hulu hanya 30 menit pakai pompong mentok dengan desa Pungkat. Kalau ke utara akan mentok dengan hutan yang aku tak tahu sampai kemana. Sedang ke selatan hanya 1 jam pakai sepeda mentok dengan desa Sungai Empat. 
Di kampung ku ini memilki berbagai macam suku dan adat istiadat. Suku banjar adalah suku yang mendominasi sekitar 75% selebihnya adalah suku melayu (15%), Jawa (3%), Bugis (2%), Minang (1%), lainnya Tionghua, batak,dan  Palembang.
Di sebelah Barat terdapat rawa-rawa sepanjang 1 jam perjalanan pakai pompong. Di rawa-rawa ini terdapat parit-parit. Parit Baru, Parit Kampas, Parit 1,2,,4,5,6, dan 7. Di Parit 4 yang pertama kali merintis adalah orang tuaku. Parit 4 ada dua, yaitu parit 4 melayu dan parit 4 Banjar. Di parit 4 Banjar hampir seluruhnya diisi oleh suku Banjar, sedang di parit 4 Melayu hampir seluruhnya diisi oleh orang Melayu. Letak kedua parit ini berseberangan antara rawa-rawa. Di parit Kampas didominasi oleh orang melayu dan Banjar. Di parit 1 di dominasi orang melayu. Sedang di parit 2,4,5,6, dan 7 semuanya didominasi orang Banjar. 

Dominasinya orang Banjar di parit-parit ini memang yang pertama kali merintisnya adalah orang Banjar yang beranak pinak, menikah, kemudian beranak pinak lagi hingga tumbuh pesat.
Sementara di pusat desa, tempat tinggalku dan tempat aku dilahirkan adalah tempat padat penduduk, sekitar 5 ribu jiwa. Di pusat desa yang sering disebut pasar belantaraya ini merupakan icon desa. Di pasar ini di sebelah timur atau sering kami sebut dengan sebelah hilir terdapat beberap parit, yaitu, parit surau, 3, dan 4. Sebelah barat yang kami sebut dengan sebelah hulu ada Sungai Belantak dan Parit Baru. Di tengah desa disebut dengan Pasar Belantaraya. Di pasarnya ini di dominasi oleh orang Minang, Tionghua, dan Banjar. Di sebelah hilir hampir semua diisi oleh orang Banjar. Begitu juga di sebelah hulu. Hanya saja di bagian RT-RTnya seperti RT 2 bagian hulu di dominasi orang Melayu, sementara di RT 3 dan 4 rata-rata orang Banjar.
Desa ini adalah desa yang pasarnya per pekan. Yaitu hari Rabu. Nah jika hari Rabu tiba, maka kita akan menemukan pasar Belantaraya ini akan penuh dengan manusia dari berbagai penjuru parit. Hampir semua penghuni parit, baik di sekitar Desa, maupun desa tetangga akan memenuhi pasar ini untuk berbelanja keperluan sehari-hari untuk satu minggu ke depan. Pedagang pasar ini disebut dengan “Pembelok” yaitu pedagang yang datang seminggu sekali bergantian dari satu desa ke desa yang lain. Oh, ya, desa ini terletak di pesisir Sungai Gaung. Di sungai inilah sarana transportasi laut satu-satunya. Maka tak heran kalau penduduk desaku ini rata-rata menggunakan pompong atau sampan untuk keperluan bepergian. Setelah jalan darat sudah mulai maju barulah secara berangsur-angsur ada yang memakai motor, namun tetap saja pompong dan sampan adalah alat transportasi terbanyak di desa ini.
Penduduk desa, termasuk keluargaku adalah petani. Terutama sekali petani kelapa dan berkebun sayur dan umbi-umbian. Sesekali ada juga yang berladang. Maka tak heran kalau desaku ini kalau pagi hari sangat sunyi karena rata-rata penduduknya pergi ke kebun. Sementara anak-anak ke sekolah. Pukul 06.00 pagi kita akan menyaksikan para petani sudah siap berangkat ke kebun dengan baju khususnya, baju bekas yang tak tentu lagi warnanya. Mereka ada yang pakai pompong, sampan, bahkan berjalan kaki. Dan akan pulang pukul 5-6 sore dengan membawa berbagai sayur dan buah-buahan. Rutinitas ini dilakukan hingga selasa sore. Hari selasa inilah biasanya para petani banyak menjual hasil kebunnya berupa kelapa dan sayur-sayuran. Sedangkan hari Rabu adalah hari berbelanja. Hari kamisnya kembali rutinitas itu dilakukan. Terkadang saking tidak bisanya meninggalkan kebun walau sehari, hari besar Islam seperti Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi saw pun ada juga masih sempat-sempatnya ke kebun walau hanya satu jam sekedar menebas rumput atau membersihkan pohon pisang. Karena aku adalah anak sekolahan maka ketika hari libur saja aku ikut ke kebun, seperti libur sekolah atau setelah pulang sekolah.
Tak heran kalau kampungku ini adalah salah satu penghasil kelapa terbanyak di Indragiri Hilir. Hampir setiap hari berton-ton kelapa disuplai dari sini. Apakah itu kelapa bulat maupun kelapa yang sudah disalai. Kalau dulu biasanya yang menampung kelapa adalah kapal dari Pulau Sambu (PS) di sambu, Guntung, Kecamatan Kateman. Tapi sekarang sudah banyak penampung kelapa dari orang kampung sendiri, walau juga nantinya dijual di Sambu juga.
Harga kelapa setiap tahunnya selalu berubah-ubah, terkadang harga menaik, tapi lebih sering menurun. Jika harga menaik kelapa yang belum terlalu matangpun terkadang dijual oleh para petani. Ini karena mengejar waktu yang tak terduga tiba-tiba menurun. Jika harga menurun, para petani pasti mengeluh dan beralih ke sayur-sayuran atau menanam padi, walaupun tetap saja kelapa dijual murah. Inilah mungkin yang menjadikan ekonomi masyarakat petani, khusunya kelapa belum bisa sejahtera. Sistem  monopoli telah merusak sistem ekonomi kerakyatan. Padahal hasil dari kelapa tersebut juga dikonsumsi oleh para petani dengan harga yang selalu naik. Sekali lagi sementara harga kelapa tak pernah tetap apalagi menaik.
Jika suatu waktu masyarakat petani, termasuk keluargaku, tidak bisa mengkonsumsi minyak kelapa dari perusahaan (membeli dengan harga mahal), kami akan mengolah kelapa sendiri menjadi minyak kelapa. Dan sebenarnya ini lebih bagus dan aman karena diolah dengan cara alami selain juga hasilnya lebih jernih. Hanya saja ini terkadang saja dilakukan karena kalau terus dilakukan harga kelapa akan ditahan dengan harga murah oleh perusahaan, sementara uang untuk kebutuhan sehari-hari diambil dari hasil penjualan kelapa.
Sudah banyak para sarjana lahir dari desa ini dibiayai dari hasil penjualan kelapa. Dari anak-anak petani kelapa ini disekolah dan kuliahkan keberbagai sekolah dan perguruan tinggi, baik di Inhil sendiri maupun di kota-kota besar seperti Pekanbaru, Sumatera Barat, Jakarta, Jogja, dan Bandung. Ada juga yang sampai ke luar negeri seperti Mesir, Madinah, dan Maroko. Termasuk aku, bahkan sampai kini. Aku masih dapat mengenyam pendidikan tinggi dari hasil penjualan kelapa.
Aku masih ingat ketika aku ingin melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Nurul Islam di Kampungku. Karena ketika itu uang tidak ada, maka aku disuruh orang tua untuk mengumpulkan kelapa kering yang sudah jatuh. Aku kumpulkanlah kelapa-kelapa kering yang sudah jatuh satu persatu, kemudian dikupas sendiri pakai “Sungkilan” (alat untuk mengupas kelapa), seterusnya aku jual. Barulah setelah itu aku dapat mendaftar sekolah. 
Begitu juga ketika aku ingin melanjutkan sekolah ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Tembilahan, Ibu kota Indragiri Hilir, Aku harus mengumpulkan satu persatu kelapa kering yang jatuh. Kalau yang jatuh itu kurang banyak aku harus bersusah payah menjatuhkannya pakai “kekait”(alat untuk memotong tangkai kelapa, berbentuk sabit yang dipasangkan pada bambu panjang). Hal ini sama juga ketika aku ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Pekanbaru. Semua biaya selama kuliah didapat dari penjualan kelapa. Jika harga kelapa lagi tidak baik dan tak bersahabat tentu saja tidak akan mencukupi biaya kuliah. Kalau ini terjadi maka meminjam uang ke tauke tidak bisa dihindari.
Sekarang adikku sudah kelas 2 Madrasah Aliyah (setingkat SMA), dan kelas 6 Madrasah Ibtidiyah (setingkat SD). Tentu saja pengeluaran keluargaku bertambah. Kami sekeluarga adik-beradik yang 13 bersaudara harus bekerja keras mencari uang dari jalan lain, menjual sayur, membuat pompong (Abah sejak dulu hingga sekarang masih berprofesi sebagai pembuat pompong), Mamak sesekali membuat anyaman tikar pandan yang dibuat selama sebulan tetapi laku dijual hanya seharga limaribu rupiah perlembar. Karena memang tidak cukup kalau hanya berpatokan dari hasil kelapa. 
Maka tak heran keluargaku (Abah dan Mamak) tidak memanjakan kami. Kami tidak diberi uang jajan, kecuali 2-5ribu perminggu. Tidak ada mainan anak-anak di rumah kami, tidak ada pestol-pestolan di rumah kami, tidak ada boneka di rumah kami, tidak ada alat elektronik di rumah kami kecuali radio punya Abah. Kecuali ada Gasing buatan kami, pestol dari Papan buatan kami, ketapel buatan kami, mobil-mobilan buatan kami, sampan kotak buatan kami, boneka dari tanah liat buatan kami, jahitan sambungan celana buatan kami, dan layang-layang indah buatan kami.
Jika kami, terutama aku, ingin makan kue maka aku harus buat sendiri. Ingin makan udang atau ikan aku harus mancing sendiri dilaut. Ingin punya pakaian baru jahit sendiri walau pakaian lama yang diolah. Mau punya buku? Aku harus itung-itungan beli satu komik petrok atau kisah para Nabi yang harganya 500 rupiah.
Tidak ada tas baru kecuali buku tulis dibiarkan telanjang dibawa oleh tangan kasar “penyolak” kelapa, atau terkadang dimasukan dalam baju sekolah yang dipakai jika hujan datang. Tidak ada sepatu baru, kecuali jempol kaki bebas memandang dunia di ujung sepatu yang robek. Abah dan Mamak tidak ingin memanjakan kami, melainkan ingin memujakan kami dengan kerja keras dan menerima apa adanya yang dimiliki. Jika ini terjadi, maka tak heran kalau sepatu robek itu seketika dijahit dengan besi payung yang rusak sebagai jarumnya dan “tangsi” (tali untuk pancing) sebagai talinya. Melihat itu Abah dan Mamak akan tersenyum. Entah bangga atau kasian.
Sebenarnya masih banyak kisah yang akan aku ceritakan, namun cukuplah ini untuk menggambarkan sebuah desa yang jauh di ujung sumatera. Desa yang dulu hutannya sangat lebat yang kini gundul. Desa yang Anak-anaknya setiap maghrib belajar mengaji, desa yang kepala desanya tak pernah diganti hingga 15 tahun, desa yang listriknya hanya hidup 12 jam sehari, desa yang honor para gurunya bertahun-tahun tak kunjung didapat. Namun ia adalah desaku, desa tempat aku dibesarkan, tempat aku diajarkan mengaji, tempat aku dibesarkan dengan ketegaran, tempat aku mengenal alam karena sering diikutkan menyusuri sungai dan hutan, memancing ikan di tengah hutan, mencari asam hutan, mencari kayu bakar, dan banyak lagi yang mesti aku cari di hutan itu. Desa yang ekonominya diperbudak, dimonopoli. Padahal ia banyak melahirkan orang hebat sampai bapak Bupati berkali-kali datang mengunjungi sekedar memberi apresiasi. Perusahaan-perusahaan bermunculan yang kata orang tanda desa sudah maju. 
Entahlah, apapun yang terjadi di desaku, Akulah yang bertanggungjawab memperbaikinya, menjaga keindahannya, meningkatkan sumber dayanya, dan tentunya membanggakannya.
Kampungku! kau tetap saja inspirasiku
Kampungku, Bumi Melayuku, Negeriku, 27 November 2011
Jumardi

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kita sama gan di belantak

Posting Komentar