Pelabuhan seolah sudah menjadi tempat yang menakutkan bagiku. Bukan tempatnya yang aku takutkan melainkan para preman pelabuhan itu. Mereka tak segan-segan memalakku, dan juga para penumpang yang lain. Di Tembilahan- Inhil, negeri seribu jembatan. Kabupaten yang terletak diujung Provinsi Riau itu ternodai dengan banyaknya para preman pasar dan preman pelabuhan.
Suatu ketika aku ingin pulang kampung ke desa Belantaraya. Tiba di pelabuhan tiba-tiba beberapa orang preman memanggilku,” Hei, sini” teriak mereka serentak. Dengan sedikit takut aku terpaksa mendatangi mereka yang sedang duduk-duduk di atas Becak. Aku mencoba menenangkan diri agar tidak terlihat takut di hadapan mereka. “Mintak duit” bentak mereka seketika ketika aku sudah mendekati mereka.” Duit aku cuman cukup untuk balek kampong”. Jawabku mencoba mempertahankan duit yang hanya cukup untuk pulang kampung. Mereka terdiam sejenak, agaknya marah dengan sikapku yang tak mau memberi mereka duit. Lalu mereka mengulangi lagi permintaan tadi. “Memangnya kalian mau ngapa?” jawabku lantang ketika itu. Mereka ciut juga rupanya. Melihat itu aku putar badan menuju speedboat di pelabuhan. Ternyata salah seorang dari mereka mengikutiku dan mengulangi lagi permintaan tadi. Aku bersikeras tetap tidak mau memberikan duitku. Aku tak perdulikan dia dan terus saja melangkah menuju speedboat. Memang tidak ada kekerasan yang aku dapatkan, namun meninggalkan ketakutan untuk berlama-lama di pelabuhan.
Pelabuhan Tembilahan ini setiap paginya dijadikan
pasar, di sepanjang pinggir pelabuhan berderet para pedagang kaki lima.
Berbagai macam barang dijual. Mulai dari pakaian bekas, buah-buahan,
sayur-sayuran, perkakas dapur, bahan bangunan, mainan anak-anak, dan ikan laut
segar.
Dengan
berbagai cara para pedagang kaki lima mencoba menawarkan barang-barang mereka,
ada yang secara lembut, ada juga yang secara paksa. Kalau secara lembut mereka
menawarkan dengan senyuman manis mempesona. Kalau secara paksa mereka
menawarkan barang-barang mereka dengan
memegang-megang tangan kita, atau langsung membungkus jualan mereka
padahal kita belum lagi menawar untuk membeli.
Di pelabuhan
ini kita harus hati-hati, karena ternyata ada di antara mereka yang menawarkan
dengan menghipnotis para calon pembeli. Ini biasanya penjual utamanya
menggunakan kaca mata hitam dengan gaya preman. Aku pernah jadi korban ala
penawaran ini.
Saat
itu pagi-pagi sekali aku pergi ke pelabuhan berniat jalan-jalan saja. Aku
keliling-keliling melihat-lihat para pedagang kaki lima yang berderet itu. Saat
tiba pada penjual jam tangan, aku sedikit tertarik untuk coba-coba melihat
saja. Ketertarikanku saat itu karena banyak sekali para pembeli yang hanya
sekedar melihat-lihat berbagai jam tangan yang dijual. Akupun mendakatinya
dengan niat yang sama, hanya untuk melihat-lihat saja. Namun tanpa terduga aku
sudah dihipnotis dengan tanpa sadar mulai tertarik ingin membeli walaupun
harganya sangat mahal. Sebelumnya hanya tertarik ingin membeli, aku sedikit
bisa berpikir jernih saat itu, aku berhasil menghindar dari tempat penjualan
itu. Aku mencoba melihat-lihat barang dagangan pedagang lain yang tidak jauh
dari tempat itu. Setelah balik lagi di
tempat itu, tanpa sadar aku mendekatinya lagi. Kali ini orang yang
melihat-lihat jam tangan itu bertambah banyak. Penjual yang berkaca mata hitam
itu mencoba menawarkan satu persatu jam tangan itu kepada para pembeli yang
banyak tersebut. Para pembeli mencoba menggoreskan jam tangan itu ke meja
tempat jam itu diletakkan, seketika penjual berkaca hitam itu langsung
menimpali bahwa jam tangan itu anti gores. Akupun mulai tertarik dan mendekati
mereka. Tanpa sadar ketika aku mendekat, aku menjadi sorotan utama para pembeli
yang banyak itu. Tanpa menunggu lama penjual berkaca hitam itu langsung
menawarkannya kepadaku dengan harga yang lebih murah dari tawaran yang
diberikan kepada pembeli yang pertama kali melihat tadi. Nah, saat itu tanpa pikir
panjang aku langsung membeli.
Setelah
transaksi akupun pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah aku mencoba
memberitahu teman-teman di rumah bahwa aku membeli jam tangan hari ini dengan
harga yang sangat mahal. Mendengar itu teman-teman langsung bilang kalau aku
sudah dihipnotis. Karena ternyata jam tangan itu adalah jam tangan palsu, jam
tangan bekas yang sudah seok. Mendengar itu aku sangat geram karena sudah
ditipu. Langsung aku putar badan pergi ke pelabuhan kembali untuk menukar jam
tangan itu. Sampai di pasar pelabuhan ternyata para pedagang brengsek itu sudah
pindah tempat, hari itu mereka sudah tiga kali pindah tempat jualan dengan
berganti penjual. Tapi tetap penjualnya berkaca mata hitam. Yang mengejutkan
aku lagi ternyata yang menjadi penjual sekarang adalah yang tadinya pura-pura
menjadi pembeli. Akupun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali jika aku berjumpa
lagi dengan mereka suatu saat aku akan pura-pura menjadi pembeli juga. Lalu
menangkap mereka.
Sejak
kecil, semacam pelabuhan memang tempat yang sangat menakutkan bagiku. Bukan
saja masalah pemalakan, namun juga masalah pencopetan, perkelahian, bahkan
pembunuhan. Seolah-olah pelabuhan bagiku menjadi tempat empuk untuk
menyelesaikan tugas kejahatan bagi mereka yang jahat. Maka tak heran kalau
pelabuhan adalah tempat nongkrong para preman, tempat bermabuk-mabukan di malam
harinya, dan tempat rencana pemukulan atau pembunuhan ditumpahkan.
Adik
tingkat saya di Madrasah Aliyah Negeri Tembilahan dikeroyok dua preman hingga
tewas hanya gara-gara mencuri satu buah jambu di depan rumahnya. Mereka dengan
rela mengejar satu orang pelajar dari rumahnya sampai ke pelabuhan padahal
jarak rumah mereka jauh dari pelabuhan. Setimpalkah hanya dengan satu buah
jambu diganti dengan hilangnya nyawa? Selalu saja pelabuhan adalah tempat
pelampiasan amarah. Apakah karena pelabuhan adalah tempat orang yang tidak mau
tahu urusan orang lain, tidak peduli sesama karena sibuk untuk diri sendiri.
Berdagang dengan cara mereka sendiri, yang penting barang dagangan habis
terjual?
Mungkin
bukan itu saja, pelabuhan juga adalah tempat transaksi cinta, tempatnya para
calo, dan pokonya tempat yang paling menakutkan. Coba saja kita bayangkan,
setiap saat pelabuhan tidak pernah sepi, baik pagi, siang, sore, malam, subuh,
bahkan waktu sholatpun. Kalau saja isinya adalah orang yang jujur dan baik,
niscaya aku akan merindukan pelabuhan karena ia adalah tempat hiburan yang
mengasyikan. Tempat dimana inspirasi social akan banyak aku dapatkan.
Orang-orang yang sudah tua, ubanan, dengan gagahnya memikul berkarung-karung
beras. Ya, kuli bangunan bukan lagi diisi orang muda lagi kuat, tapi orang tua
yang sudah beruban. Padahal tidak banyak yang bisa mereka lakukan, memaksakan
kehendak saja.
Apalagi
aku lihat nenek-nenek renta masih saja berpanas-panasan hanya untuk menjual
sayur yang mereka tanam sendiri, tidaklah setimpal aku kira dengan uang yang
mereka dapatkan. Adik-adik kecil yang masih terbata menata hidup saban hari aku
lihat rela membohongi dirinya sendiri dan orang lain dengan berpura-pura
menjadi anak cacat agar orang iba lalu memberikan sereceh uang yang mereka
gunakan untuk makan.
Pelabuhan,
mengapa kau rela dilumuri dengan ketipuan? Apakah memang kodratmu sebagai
tempat setan? Entahlah, pelabuhan, pasar, pencuri, pengemis, penipu, menyatu
menjadi yang sangat menakutkan.
Tak
heran kalau banyak cerita tentang pasar di pelabuhan. Tempat bertumpuknya
sampah yang berkali-kali diberitakan di Koran, di televisi, namun tak pernah
juga dicarikan solusi. Tempat motor yang parkir berantakan. Seolah
pemerintahpun ikut menikmati keadaannya seperti itu. Ya, pemerintah pun ikut
menikmatinya. Lihat saja di pelabuhan Tembilahan itu didirikan sebuah bangunan
besar yang mereka sebut dengan pasar rakyat. Pasar tempat para rakyat merayakan
hasil jerih mereka dengan berpoya-poya. Bukan di pasarnya itu, tapi di atas
gedung tingkat tiganya yang hancur moral penghuninya. Siang boleh sunyi, tapi
malam bersempit sempit hanya untuk memuaskan hawa nafsu pendatangnya.
Berdisko-disko lalu pulang shubuh, atau kalau tidak menginap di hotel.
Entah
sudah berapa kali pemerintah provinsi hadir melihat kondisi pelabuhan
Tembilahan ini, memberikan teguran dan himbauan agar secepatnya diperbaiki.
Dengan bertumpuknya sampah bekas penjualan itulah yang menyebabkan setiap kali
pasang tinggi jalan-jalan utama yang dekat dengan pelabuhan akan tenggelam.
Belum sadarkah mereka begitu pentingnya penanggulangan sampah? mengapa setiap
kali rumah mereka banjir, mereka selalu mengeluh dan menyalahkan orang lain?
Padahal merekalah, atas kelalaian yang dilakukan yang menjadi sebab utamanya.
Sampai kini, ketika aku pulang ke kampungku pasti aku akan menyaksikan ini.
Menyaksikan tidak adanya kepedulian terhadap lingkungan.
Sebenarnya
aku sedih bercerita tentang aib kotaku sendiri. Malu, karena di tengah-tengah
pasar, di samping pelabuhan itu berdiri megah Masjid raya kota yang mungkin
bermilyar-milyar harganya. Namun kemegahannya tidak juga dapat merubah nasib
lingkungan di sekitarnya, tidak juga menyadarkan para preman akan
kejahatan-kejahatan mereka di saat azan berkumandang setiap waktu shubuh,
zhuhur, ashar, maghrib, dan Isya. Kajian-kajian keislaman di dalamnya tidak
juga bisa merubah watak buruk para pedagang di sekitarnya agar lebih jujur dan
tidak menipu. Ceramah-ceramah agama setiap selesai shubuh, kajian fiqih sebelum
zhuhur tidak juga mampu mempercepat menyadarkan para pembeli agar bersegera
megerjakan sholat pada waktunya. Mungkinkah ini karena para ustadz di dalamnya
hanya sekedar melepas kewajiban memberikan tausiah, lalu dapat amplop uang,
kemudian pulang. Sementara di luar ia berjumpa dan tahu kalau para preman itu
masih berkeliaran di pelabuhan, para pedagang masih banyak yang belum jujur,
atau para pembelinya yang acuh tak acuh dengan masjid dan ceramah mereka. Wajar
saja kalau pagi bulan ramadhan kedai-kedai rumah makan masih saja banyak para
pembeli yang makan di rumah bertutup kain itu.
Pelabuhan
oh pelabuhan tempat dimana aku selalu bersamamu menunggu penumpang lain datang
agar speedboat yang aku tumpangi segera penuh dan segera berangkat. Tempat aku
akan rela menahan perih mendengar suara-suara saling bermaki karena berebut
penumpang. Sepertinya tidak lagi ada saling percaya di antara mereka hanya
karena tidak mau tertipu untuk yang kedua kalinya. Mau tidak mau, tetap saja
aura itu akan aku rasakan setiap kali pulang kampung. Entah sampai kapan.
Terkadang
aku kasihan juga melihat mereka. Aku tahu mereka memaksakan diri menjadi
seperti itu karena terbebani banyaknya anak yang mereka harus beri makan setiap
hari. Istri yang terus berharap dia pulang membawa uang atau beras untuk
dimasak. Mereka sungguh terpaksa melakukan itu. Memang mungkin itulah yang
harus terjadi. Mereka sudah bosan dengan kehidupan mereka yang kian tak membaik
di bidang ekonomi. Janji penyantunan untuk keluarga yang tidak mampu kian tidak
nampak solusinya. Atau mereka sendiri yang memang hobinya berada di situ,
memalak, mengancam, mencuri, mengemis, menipu, dan membunuh.
Jika saja esok adalah hari bahagia
Di mana semua orang sudah bahagia
Tidak lagi mengeluh karena ekonomi yang sulit
Tidak lagi terganggu dengan preman pelabuhan
Para pedagang yang menipu
Para pengemis yang meminta-minta
Niscaya aku tidak lagi takut dengan pelabuhan
Dengan segala kerinduan akan indahnya keragamannya.
Bumi Melayu, 08
Desember 2011,
Jumardi
0 komentar:
Posting Komentar