Aku
lahir di sebuah desa bernama Belantaraya, Kecamatan Gaung, kabupaten Indragiri
hilir, Riau. Setelah aku berumur 10 tahun sering aku dengar orang menyebut
kampungku itu dengan “Belantak”. Belantaraya.
Nama
ini mungkin dinisbatkan karena dulu hutan yang begitu lebat di sekeliling desa,
sebelum dibabat habis oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Kita hanya
membutuhkan waktu 10-15 menit saja untuk sampai ke hutan Belantaraya dari pusat
desa. Sedangkan “Belantak” adalah sebutan yang selalu dilontarkan oleh orang
melayu desa atau orang kampung sebelah yang konon dulunya di perairan desa ini
sering kali terjadi tabrakan speed boat dan kapal pemuat kayu balak.
Kampung
kelahiranku ini tidak begitu luas, kalau kita ke hilir hanya 15 menit pakai pompong
akan mentok dengan desa Pintasan. Kalau ke Hulu hanya 30 menit pakai pompong
mentok dengan desa Pungkat. Kalau ke utara akan mentok dengan hutan yang aku
tak tahu sampai kemana. Sedang ke selatan hanya 1 jam pakai sepeda mentok
dengan desa Sungai Empat.
Di
kampung ku ini memilki berbagai macam suku dan adat istiadat. Suku banjar
adalah suku yang mendominasi sekitar 75% selebihnya adalah suku melayu (15%),
Jawa (3%), Bugis (2%), Minang (1%), lainnya Tionghua, batak,dan Palembang.
Di
sebelah Barat terdapat rawa-rawa sepanjang 1 jam perjalanan pakai pompong. Di
rawa-rawa ini terdapat parit-parit. Parit Baru, Parit Kampas, Parit 1,2,,4,5,6,
dan 7. Di Parit 4 yang pertama kali merintis adalah orang tuaku. Parit 4 ada
dua, yaitu parit 4 melayu dan parit 4 Banjar. Di parit 4 Banjar hampir
seluruhnya diisi oleh suku Banjar, sedang di parit 4 Melayu hampir seluruhnya
diisi oleh orang Melayu. Letak kedua parit ini berseberangan antara rawa-rawa.
Di parit Kampas didominasi oleh orang melayu dan Banjar. Di parit 1 di dominasi
orang melayu. Sedang di parit 2,4,5,6, dan 7 semuanya didominasi orang Banjar.
Dominasinya orang Banjar di parit-parit ini memang yang pertama kali merintisnya adalah orang Banjar yang beranak pinak, menikah, kemudian beranak pinak lagi hingga tumbuh pesat.
Dominasinya orang Banjar di parit-parit ini memang yang pertama kali merintisnya adalah orang Banjar yang beranak pinak, menikah, kemudian beranak pinak lagi hingga tumbuh pesat.
Sementara
di pusat desa, tempat tinggalku dan tempat aku dilahirkan adalah tempat padat
penduduk, sekitar 5 ribu jiwa. Di pusat desa yang sering disebut pasar
belantaraya ini merupakan icon desa. Di pasar ini di sebelah timur atau sering
kami sebut dengan sebelah hilir terdapat beberap parit, yaitu, parit surau, 3,
dan 4. Sebelah barat yang kami sebut dengan sebelah hulu ada Sungai Belantak
dan Parit Baru. Di tengah desa disebut dengan Pasar Belantaraya. Di pasarnya
ini di dominasi oleh orang Minang, Tionghua, dan Banjar. Di sebelah hilir
hampir semua diisi oleh orang Banjar. Begitu juga di sebelah hulu. Hanya saja
di bagian RT-RTnya seperti RT 2 bagian hulu di dominasi orang Melayu, sementara
di RT 3 dan 4 rata-rata orang Banjar.
Desa
ini adalah desa yang pasarnya per pekan. Yaitu hari Rabu. Nah jika hari Rabu
tiba, maka kita akan menemukan pasar Belantaraya ini akan penuh dengan manusia
dari berbagai penjuru parit. Hampir semua penghuni parit, baik di sekitar Desa,
maupun desa tetangga akan memenuhi pasar ini untuk berbelanja keperluan
sehari-hari untuk satu minggu ke depan. Pedagang pasar ini disebut dengan
“Pembelok” yaitu pedagang yang datang seminggu sekali bergantian dari satu desa
ke desa yang lain. Oh, ya, desa ini terletak di pesisir Sungai Gaung. Di sungai
inilah sarana transportasi laut satu-satunya. Maka tak heran kalau penduduk
desaku ini rata-rata menggunakan pompong atau sampan untuk keperluan bepergian.
Setelah jalan darat sudah mulai maju barulah secara berangsur-angsur ada yang memakai
motor, namun tetap saja pompong dan sampan adalah alat transportasi terbanyak
di desa ini.
Penduduk
desa, termasuk keluargaku adalah petani. Terutama sekali petani kelapa dan
berkebun sayur dan umbi-umbian. Sesekali ada juga yang berladang. Maka tak
heran kalau desaku ini kalau pagi hari sangat sunyi karena rata-rata
penduduknya pergi ke kebun. Sementara anak-anak ke sekolah. Pukul 06.00 pagi
kita akan menyaksikan para petani sudah siap berangkat ke kebun dengan baju
khususnya, baju bekas yang tak tentu lagi warnanya. Mereka ada yang pakai
pompong, sampan, bahkan berjalan kaki. Dan akan pulang pukul 5-6 sore dengan
membawa berbagai sayur dan buah-buahan. Rutinitas ini dilakukan hingga selasa
sore. Hari selasa inilah biasanya para petani banyak menjual hasil kebunnya
berupa kelapa dan sayur-sayuran. Sedangkan hari Rabu adalah hari berbelanja.
Hari kamisnya kembali rutinitas itu dilakukan. Terkadang saking tidak bisanya
meninggalkan kebun walau sehari, hari besar Islam seperti Isra’ Mi’raj, Maulid
Nabi saw pun ada juga masih sempat-sempatnya ke kebun walau hanya satu jam
sekedar menebas rumput atau membersihkan pohon pisang. Karena aku adalah anak
sekolahan maka ketika hari libur saja aku ikut ke kebun, seperti libur sekolah
atau setelah pulang sekolah.
Tak
heran kalau kampungku ini adalah salah satu penghasil kelapa terbanyak di Indragiri
Hilir. Hampir setiap hari berton-ton kelapa disuplai dari sini. Apakah itu
kelapa bulat maupun kelapa yang sudah disalai. Kalau dulu biasanya yang
menampung kelapa adalah kapal dari Pulau Sambu (PS) di sambu, Guntung,
Kecamatan Kateman. Tapi sekarang sudah banyak penampung kelapa dari orang
kampung sendiri, walau juga nantinya dijual di Sambu juga.
Harga
kelapa setiap tahunnya selalu berubah-ubah, terkadang harga menaik, tapi lebih
sering menurun. Jika harga menaik kelapa yang belum terlalu matangpun terkadang
dijual oleh para petani. Ini karena mengejar waktu yang tak terduga tiba-tiba
menurun. Jika harga menurun, para petani pasti mengeluh dan beralih ke
sayur-sayuran atau menanam padi, walaupun tetap saja kelapa dijual murah.
Inilah mungkin yang menjadikan ekonomi masyarakat petani, khusunya kelapa belum
bisa sejahtera. Sistem monopoli telah
merusak sistem ekonomi kerakyatan. Padahal hasil dari kelapa tersebut juga dikonsumsi
oleh para petani dengan harga yang selalu naik. Sekali lagi sementara harga
kelapa tak pernah tetap apalagi menaik.
Jika
suatu waktu masyarakat petani, termasuk keluargaku, tidak bisa mengkonsumsi
minyak kelapa dari perusahaan (membeli dengan harga mahal), kami akan mengolah
kelapa sendiri menjadi minyak kelapa. Dan sebenarnya ini lebih bagus dan aman
karena diolah dengan cara alami selain juga hasilnya lebih jernih. Hanya saja
ini terkadang saja dilakukan karena kalau terus dilakukan harga kelapa akan
ditahan dengan harga murah oleh perusahaan, sementara uang untuk kebutuhan
sehari-hari diambil dari hasil penjualan kelapa.
Sudah
banyak para sarjana lahir dari desa ini dibiayai dari hasil penjualan kelapa.
Dari anak-anak petani kelapa ini disekolah dan kuliahkan keberbagai sekolah dan
perguruan tinggi, baik di Inhil sendiri maupun di kota-kota besar seperti
Pekanbaru, Sumatera Barat, Jakarta, Jogja, dan Bandung. Ada juga yang sampai ke
luar negeri seperti Mesir, Madinah, dan Maroko. Termasuk aku, bahkan sampai
kini. Aku masih dapat mengenyam pendidikan tinggi dari hasil penjualan kelapa.
Aku
masih ingat ketika aku ingin melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Nurul Islam di
Kampungku. Karena ketika itu uang tidak ada, maka aku disuruh orang tua untuk
mengumpulkan kelapa kering yang sudah jatuh. Aku kumpulkanlah kelapa-kelapa
kering yang sudah jatuh satu persatu, kemudian dikupas sendiri pakai
“Sungkilan” (alat untuk mengupas kelapa), seterusnya aku jual. Barulah setelah
itu aku dapat mendaftar sekolah.
Begitu
juga ketika aku ingin melanjutkan sekolah ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di
Tembilahan, Ibu kota Indragiri Hilir, Aku harus mengumpulkan satu persatu
kelapa kering yang jatuh. Kalau yang jatuh itu kurang banyak aku harus bersusah
payah menjatuhkannya pakai “kekait”(alat untuk memotong tangkai kelapa,
berbentuk sabit yang dipasangkan pada bambu panjang). Hal ini sama juga ketika
aku ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Pekanbaru. Semua biaya
selama kuliah didapat dari penjualan kelapa. Jika harga kelapa lagi tidak baik
dan tak bersahabat tentu saja tidak akan mencukupi biaya kuliah. Kalau ini
terjadi maka meminjam uang ke tauke tidak bisa dihindari.
Sekarang
adikku sudah kelas 2 Madrasah Aliyah (setingkat SMA), dan kelas 6 Madrasah
Ibtidiyah (setingkat SD). Tentu saja pengeluaran keluargaku bertambah. Kami
sekeluarga adik-beradik yang 13 bersaudara harus bekerja keras mencari uang
dari jalan lain, menjual sayur, membuat pompong (Abah sejak dulu hingga
sekarang masih berprofesi sebagai pembuat pompong), Mamak sesekali membuat
anyaman tikar pandan yang dibuat selama sebulan tetapi laku dijual hanya
seharga limaribu rupiah perlembar. Karena memang tidak cukup kalau hanya
berpatokan dari hasil kelapa.
Maka
tak heran keluargaku (Abah dan Mamak) tidak memanjakan kami. Kami tidak diberi
uang jajan, kecuali 2-5ribu perminggu. Tidak ada mainan anak-anak di rumah
kami, tidak ada pestol-pestolan di rumah kami, tidak ada boneka di rumah kami,
tidak ada alat elektronik di rumah kami kecuali radio punya Abah. Kecuali ada
Gasing buatan kami, pestol dari Papan buatan kami, ketapel buatan kami,
mobil-mobilan buatan kami, sampan kotak buatan kami, boneka dari tanah liat
buatan kami, jahitan sambungan celana buatan kami, dan layang-layang indah
buatan kami.
Jika
kami, terutama aku, ingin makan kue maka aku harus buat sendiri. Ingin makan
udang atau ikan aku harus mancing sendiri dilaut. Ingin punya pakaian baru
jahit sendiri walau pakaian lama yang diolah. Mau punya buku? Aku harus
itung-itungan beli satu komik petrok atau kisah para Nabi yang harganya 500
rupiah.
Tidak
ada tas baru kecuali buku tulis dibiarkan telanjang dibawa oleh tangan kasar
“penyolak” kelapa, atau terkadang dimasukan dalam baju sekolah yang dipakai
jika hujan datang. Tidak ada sepatu baru, kecuali jempol kaki bebas memandang
dunia di ujung sepatu yang robek. Abah dan Mamak tidak ingin memanjakan kami,
melainkan ingin memujakan kami dengan kerja keras dan menerima apa adanya yang
dimiliki. Jika ini terjadi, maka tak heran kalau sepatu robek itu seketika
dijahit dengan besi payung yang rusak sebagai jarumnya dan “tangsi” (tali untuk
pancing) sebagai talinya. Melihat itu Abah dan Mamak akan tersenyum. Entah
bangga atau kasian.
Sebenarnya
masih banyak kisah yang akan aku ceritakan, namun cukuplah ini untuk
menggambarkan sebuah desa yang jauh di ujung sumatera. Desa yang dulu hutannya
sangat lebat yang kini gundul. Desa yang Anak-anaknya setiap maghrib belajar
mengaji, desa yang kepala desanya tak pernah diganti hingga 15 tahun, desa yang
listriknya hanya hidup 12 jam sehari, desa yang honor para gurunya
bertahun-tahun tak kunjung didapat. Namun ia adalah desaku, desa tempat aku
dibesarkan, tempat aku diajarkan mengaji, tempat aku dibesarkan dengan
ketegaran, tempat aku mengenal alam karena sering diikutkan menyusuri sungai
dan hutan, memancing ikan di tengah hutan, mencari asam hutan, mencari kayu
bakar, dan banyak lagi yang mesti aku cari di hutan itu. Desa yang ekonominya
diperbudak, dimonopoli. Padahal ia banyak melahirkan orang hebat sampai bapak
Bupati berkali-kali datang mengunjungi sekedar memberi apresiasi.
Perusahaan-perusahaan bermunculan yang kata orang tanda desa sudah maju.
Entahlah,
apapun yang terjadi di desaku, Akulah yang bertanggungjawab memperbaikinya,
menjaga keindahannya, meningkatkan sumber dayanya, dan tentunya
membanggakannya.
Kampungku!
kau tetap saja inspirasiku
Kampungku,
Bumi Melayuku, Negeriku, 27 November 2011
Jumardi
1 komentar:
Kita sama gan di belantak
Posting Komentar