Pages

My Slide

Cover Photos Slideshow: Ju’s trip from Medan, Sumatra, Indonesia to Pekanbaru was created by TripAdvisor. See another Pekanbaru slideshow. Take your travel photos and make a slideshow for free.

Sabtu, 19 November 2011

MENANGIS KARENA TANGIS


Jumardi

Saat-saat perpisahan air mata tumpah tanpa sengaja, atau sengaja. Saat muhasabah air mata pun mengaliri pipi wajah. Begitu juga dengan banyaknya cobaan yang menimpa, air mata kian tak terbendung. Tangis itu ada yang benar-benar karena haru, menyesal karena banyaknya kesalahan. Ada juga memang terbawa oleh tangis itu sendiri. 

Tangis karena menyesal atas banyaknya kesalahan itulah yang kita sebut dengan tangis orang yang bertaubat. Ia bertekad tidak mengulangi lagi kesalahan yang pernah ia lakukan untuk yang kedua kalinya. Sedang tangis karena terbawa tangis adalah tangisan karena memang suasananya atau lingkungan saat itu sangat mengharukan. Ia tertangis-tangis juga. Ini biasanya disaat menyaksikan acara perpisahan, atau kesedihan sebuah keluarga karena ada yang meninggal dunia.

Saya sering menyaksikan orang model kedua. Menangis karena tangis. Ini biasanya terjadi saat acara muhasabah, momen perpisahan, dan momen kematian. Adakah yang salah dengan model kedua ini? Sebenarnya tidak juga, walau ada. Tangisan seperti ini biasanya kesannya tidak terlalu lama, paling satu sampai dua hari saja. Setelah itu tinggal kenangan bahwa momen tersebut sangat mengharukan.
Ini berbeda dengan model pertama. Tangisan ini murni dari diri sendiri. Mungkin karena kesedihan yang sedang dialaminya. Karena penyesalan yang mendalam terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Model ini biasanya akan berkesan lama, sampai semua yang menjadi sebab tangisan itu tergantikan dengan kegembiraan.

Minggu, 13 November 2011

Arti cinta dalam cinta dakwah


Oleh : Jumardi

Cinta itu, cinta pada dakwah akan benar-benar hadir dengan undangan cinta jika kita melipatgandakan cinta dalam cinta. Ini mempunyai arti cinta seutuhnya, ia menumbuhkan cinta dengan cinta-cinta yang sama. Artinya untuk menumbuhkan cinta mesti dengan cinta juga. Tidak mungkin cinta hadir kalau diundang dengan benci.
Untuk menumbuhkan cinta pada dakwah ini agar ia menuai cinta juga harus berani memulainya dengan cintan dari sekarang. Tanami kecintaan dengan rasa cinta, dan menanmnya juga dengan cinta. Cinta menanamnya.
Kita ingin para ikhwah mencinta dakwah terlebih orang amah, mencintai dakwah ini terlebih dahulu kita harus memotivasi mereka agar secepatnya menanam cinta dan bibitnya adalah bibit cinta. Bukan hanya sekedar memberikan cinta pada mereka tetapi lebih dari itu menanamkan bibit cinta biar tumbuh subur di hati mereka. Biarkan ia mekar dan merayapi setiap arah desiran darah mereka. Setelah itu pupuki ia dengan cinta yang sudah mengakar dalam diri kita.
Kita mencintai sesuatu karena memang kita cinta dengan sesuatu itu, dan ia akan semakin terasa jika sesuatu itu juga turut memotivasi dengan cinta. Terlebih keduanya berjalan, berjabat erat melangkahi tapak jalan hidup bersama-sama.
Mencintai sesuatu memang menyenangkan, dicintai oleh sesuatu lebih menyenangkan, dicintai oleh sesuatu yang dicintai melipatgandakan kesenangan. Namun, dicintai oleh Allah dan RasulNya serta orang-orang sholeh adalah senang di atas sejuta kesenangan.
Kita yakin, jika cinta ini sudah mengalir deras, semua kerja seberat apapun akan mudah dijalani walau akhirnya adalah tertundanya kemenangan. Cinta tetaplah cinta, ia takkan berubah, baik warna maupun rasanya. Yuk, mencintai cinta dalam dakwah!

Senin, 07 November 2011

K.H. Rahmat Abdullah


KH. Rahmat Abdullah, Dari Kuningan Sampai Bekasi

Rahmat Abdullah, yang seringkali dipanggil Bang Mamak oleh warga Kampung Kuningan ini, meskipun lahir dari pasangan asli Betawi, namun ia selalu menghindari sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial Belanda. Ia lebih bangga dengan menyebut Jayakarta, karena baginya itulah nama yang diberikan Pangeran Fatahillah kepada tanah kelahirannya. Sebuah sikap yang tak lain lahir dari semangat anti kolonialisme dan imperialisme, serta kebanggaan (izzah) terhadap warisan perjuangan Islam.

Pada usia 11 tahun, Rahmat kecil harus menapaki hidupnya tanpa asuhan sang ayah, karena saat itu ia telah menjadi seorang anak yatim. Sang ayah hanya mewariskan pada dirinya usaha percetakan-sablon, yang ia kelola bersama sang kakak dan adik untuk menutupi segala biaya dan beban hidup yang mesti ditanggungnya.